Makalah Difaan Al Sunnah tentang Sunnah Fi'liyah dan Sunnah Tarkiyah
SUNNAH FI’LIYAH DAN SUNNAH TARKIYAH
MAKALAH
OLEH:
AHADI
SYAWAL
30300112002
ABDILLAH
30300112045
JURUSAN
ILMU AL QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2013
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah swt. Tuhan semesta alam karena atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
diberikan. Salawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabiyullah
Muhammad saw. Dan sahabat-sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti dengan
istiqamah risalahnya.
Dalam
penyusunan makalah ini yang berjudul “Sunnah Fi’liyah dan Sunnah
Tarkiyah ”, penulis menghadapi berbagai kesulitan karena terbatasnya kemampuan
dan pengetahuan penulis. Akan tetapi, berkat usaha dan kerja keras penulis
makalah ini dapat terselesaikan. Begitu pula makalah ini dapat diselesaikan
berkat adanya bantuan dari pihank-pihak yang mendukung baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu, sebagai tanda syukur dan penghormatan
kepada semua pihak yang terlibat, penulis ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya. Secara khusus kami juga patut menyampaikan ucapan terima
kasih kepada dosen pembimbing kami bapak Abdul Gaffar, S. Th. I., M. Th. I.
yang telah membimbing kami dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya,
penulis berharap semoga keberadaan makalah ini dapat bermanfaat kepada segenap
pihak dan menjadi amal jariyah serta bernilai pahala disisi Allah swt.
Makassar,
28 September 2013
Penulis
Kelompok
II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sunah atau hadis
dalam Islam menempati posisi yang sangat urgen, yaitu menjadi sumber hukum
kedua setelah alqur’an. Sebagai sumber hukum kedua dari sumber
perundang-undangan islam dengan karakteristik yang sangat kompleks dibanding
alqur’an, maka sunah atau hadis senantiasa menjadi bahasan yang hangat dan
aktual. Di satu sisi ia menjadi referensi dalam pengambilan hukum Islam, di
sisi lain sunah atau hadis harus bertahan dari kritikan-kritikan yang diberikan
kepadanya dalam hal keotentikannya.
Istilah sunah
secara umum sering disamakan dengan hadis. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
mendominasi ulama klasik dan modern, dimana ditemukan dalam defnisi mereka yang
menyamakan makna antara sunah dan hadis. Padahal jika diteliti lebih seksama
dari awal penggunaan kata itu, maka sebenarnya antara sunah dengan hadis
memiliki perbedaan fungsional.[1]
Sunah menurut
bahasa adalah jalan yang dilewati, baik jalan itu terpuji maupun tidak. Sebuah
tradisi yang dibiasakan disebut sunah, walaupun itu tidak baik.[2]
Setiap sesuatu yang ditradisikan kemudian menjadi amalan atau tradisi yang
diikuti generasi sesudahnya maka mereka akan dianggap sebagai yang mengsunahkan-nya
atau mentradisikannya.[3]
Dari aspek bahasa inilah sudah jelas bahwa antara sunah dengan hadis memiliki
perbedaan. Sunah identik dengan perbuatan saja, sedangkan hadis identik dengan
perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, dalam
konteks ini sering kali kita dengarkan ucapan ulama bahwa hadis ini kontradiksi
dengan qiyas, sunah, dan ijmak. Atau
juga ulama yang memberikan penilaiannya pada seorang ulama dengan klasifikasi
yang berbeda, seperti si A adalah imam pada hadis, si B adalah imam pada sunah,
atau si C adalah imam pada hadis dan snnah.[4] Dari
penjelasan ini dapat dipahami bahwa hadis lebih umum dari pada sunnah.
Terkait dengan
kekhususan sunah pada aspek perbuatan Nabi saja, ulama membaginya menjadi dua,
yaitu sunnah fi’liyah dan sunnah tarkiyah. Dua hal ini menjadi
penting untuk dipahami secara mendalam karena menjadi salah satu dasar atau
dalil bagi kita dalam menjalankan kehidupan beragama. Selain itu, hal ini
menjadi penting agar umat islam terhindar dari bid’ah dhalālah.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas dapat ditarik rumusan masalah yang akan menjadi
titik fokus dalam pembahasan makalah ini. Rumusan masalah yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana
pengertian sunnah fi’liyah dan sunnah tarkiyah ?
2. Bagaimana
bentuk dari sunnah fi’liyah dan sunnah tarkiyah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Sunnah Fi’liyah dan Sunnah Tarkiyah
Secara etimologi
kata fi'liyah merupakan ism
mashdar dari kata فعل yang dalam lisan
Al-'arab berarti kata kiasan untuk segala bentuk perbuatan, kemudian
dibubuhi ي al-nisbah sehingga
dinisbahkan kepada sunnah yang
berarti sunah-sunah yang sifatnya berupa perbuatan. Sedangkan kata tarkiyyah merupakan ism mashdar dari ترك yang dalam lisan
Al-'arab berarti meninggalkan sesuatu, tarkiyah dengan ي an-nisbah dinisbahkan
ke kata sunnah berarti Sunah yang
sifatnya berupa meninggalkan suatu perbuatan. Adapun pengertian secara
terminologi sunnah fi’liyah adalah
sunah Nabi yang berupa perbuatan atau
apa yang telah dilakukan oleh beliau. Sunah ini juga dinamakan sunnah ‘amaliyah.[5]
Sedangkan sunnah tarkiyah adalah segala
sesuatu yang tidak pernah dikerjakan atau diperintahkan oleh Nabi untuk
mengerjakannya.[6]
Syaikh Sa’ad Abu Aziz menjelaskan bahwa yang dimaksud sunnah tarkiyah adalah perbuatan yang ditinggalkan Nabi saw. Meski
terdapat alasan atau tuntutan, serta tidak ada hal yang menghalanginya.[7]
B. Bentuk
dari Sunnah Fi’liyah dan Sunnah Tarkiyah
1.
Sunnah Fi’liyah
Para ulama telah menetapkan bahwa
pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. Itu terbagi dalam
beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut:
a.
Pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan-perbuatan
Nabi saw. Yang termasuk dalam urusan Tabiat, seperti makan, minum, duduk, berdiri,
dan sebagainya. Pekerjaan seperti ini hukumnya mubah (boleh) baik untuk pribadi
beliau maupun umatnya.
b.
Pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan-perbuatan
Nabi saw. Yang khusus untuk beliau, seperti puasa terus menerus diluar bulan
Ramadan, salat tahajud pada malam hari, beristeri lebih dari empat, masuk ke
Mekah dengan tidak ihram, dan lain sebagainya. perbuatan seperti ini tidak
boleh diikuti oleh umatnya .
c.
Pekerjaan-pekerjaan
atau perbuatan-perbuatan Nabi saw. Yang menjadi penjelasan bagi firman Allah
swt. atau sabda beliau yang bertalian dengan firman Allah (alquran), seperti tata
cara pelaksanaan salat, memotong tangan bagi pencuri, dan lain sebagainya.
Sudah menjadi ketetapan bahwa perbuatan-perbuatan yang serupa ini dihukum
dengan hukum asalnya, yakni diserupakan hukumnya dengan hukum perintah-perintah
yang diperintahkan. Misalnya, jika firman Allah menunjukkan wajib, maka
pekerjaan Nabi yang menjelaskannya itu hukumnya wajib; jika firman Allah
menunjukkan mubah, maka pekerjaan Nabi yang menjelaskannya itu hukumnya mubah
pula.
d.
Pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan-perbuatan
Nabi saw. Yang bukan tabiat kemanusiaan, bukan khusus untuk beliau, dan bukan
pula sebagai penjelasan terhadap firman Allah (alquran). Perbuatan seperti ini
terjadi perselisihan dikalangan ulama. Sabagian ulama ada berpendapat bahwa
hukumnya sunah (sunnat), sebagaian yang lain berpendapat mubah, dan ada pula
yang berpendapat tidak ada hukumnya sampai ada keterangan atau perintah dari
Nabi sendiri secara jelas. Imam Syaukani dalam kitabnya Irsyādul Fuhul memilih
pendapat yang mengatakan nadb (sunnat). Kata beliau “bagi saya tidaklah
mungkin jika dikatakan tidak ada hukumnya tentang pekerjaan yang nyata padanya
dengan sengaja mendekatkan diri kepada Allah (ibadah), sekurang-kurangnya
tentulah nadb
(sunnat) tingkatannya.” Pendapat yang dipilih oleh imam Syaukani ini sesuai
dengan pendapat imam Ibnul Hajib dalam kitabnya Mukhtasar. Akan tetapi imam
al-Amidy dalam kitabnya al-ahkam menempatkan pekerjaan ini antara wajib dengan mandub (sunnat), yakni beliau
tidak menegaskan wajibnya maupun sunnatnya.
e.
Pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan-perbuatan
Nabi saw. Yang tidak nyata berdasar ibadah kepada Allah swt. perbuatan seperti
ini ditanggapi oleh ulama dengan empat pendapat, yaitu ada yang berpendapat
wajib hukumnya, ada yang berpendapat sunnat hukumnya, ada yang berpendapat
mubah hukumnya, dan ada yang berpendapat waqf (belum dapat diberi hukum) hukumnya.[8]
Terkait dengan jenis sunah yang tidak terang
berdasar ibadah para ulama memberikan keterangan yang berbeda-beda terhadap
hukum-hukum yang telah disebutkan. Diantaranya Imam Syaukani berpendapat bahwa
sunah yang tidak terang apakah berdasarkan ibadah adalah mandub. Karena menurut beliau
sesungguhnya pekerjaan atau perbuatan Nabi itu sekalipun tidak nyata dengan
sengaja adalah ibadah, namun pasti bahwa pekerjaan itu untuk mendekatkan diri
kepadanya dan sekurang-kurangnya sesuatu yang dikerjakan itu mempunyai
tingkatan mandub. Tidak ada dalil yang menunjukkan lebih dari nadb, lalu menjadi wajibnya
dan seharusnya tidak dikatakan pekerjaan itu memfaedahkan mubah. Sedangkan
menurut al-Maidy, pekerjaan itu tidak memberi keterangan nadb dengan sendirinya, akan
tetapi dapat menunjukkan persekutuan antara wajib, nadb, dan mubah. Boleh jadi pekerjaan itu wajib,
boleh jadi nadb, dan boleh jadi mubah. Hanya yang terang pekerjaan itu tidak dilarang
untuk dikerjakan, karena Nabi pernah mengerjakannya. Sementara al-Hajib
berpendapat pekerjaan itu mubah.[9]
Diantara tiga pendapat diatas adalah pendapat
al-Maidy yang paling kuat. Yakni apabila Nabi mengerjakan suatu pekerjaan,
tidak nyata pekerjaan itu dikerjakan dengan sengaja untuk ibadah dan tidak ada
keterangan tentang keharusannya, maka pekerjaan itu menunjukkan kepada
ketiadaan dilarang. Pekerjaan tersebut bukan wajib dan bukan juga mubah. Jika
akan dikatakan pekerjaan itu sebagai ibadah yang khusus untuk Nabi, maka hal
itu soal lain yang tidak dapat dikatakan begitu saja. Hal ini sesuai dengan
perilaku sahabat Nabi yang lebih mengerti tentang urusan agama dan paling
berhasrat mengikuti tindakan beliau tentang segala sesuatu untuk mendekatkan
diri kepada Allah swt. apalagi mereka adalah orang-orang yang menyaksikan
pekerjaan Nabi. Oleh karena itu, dengan sendirinya pekerjaan-pekerjaan Nabi
yang dengan sengaja mendekatkan diri kepada Allah baik untuk diikuti maupun
tidak untuk diikuti, mereka tentunya telah mengetahuinya dan telah mereka
siarkan kepada orang ramai. Dengan demikian, tidaklah seharusnya
pekerjaan-pekerjaan Nabi yang tidak diterangkan oleh sahabat dikatakan
pekerjaan itu khusus untuk beliau.[10]
Selain kelima bentuk sunah yang telah
dijelaskan di atas, ada pula yang menjelaskan bahwa pekerjaan atau perbuatan
Nabi itu terbagi dalam tujuh bagian. Ketujuh yang dimaksud adalah sebagai
berrikut:
a.
Pekerjaan Nabi Muhammad saw. Yang tidak
bersangkut paut dengan soal hukum, seperti gerak-gerik tubuh beliau.
b.
Pekerjaan Nabi Muhammad saw. Yang tidak
bersangkut paut dengan soal ubudiyah dan nyata pula dari pekerjaan tabiat
manusia. Seperti berjalan, berdiri, duduk, dan sebagainya. Tentang ini tidak
mewujudkan suatu hukum, baik wajib maupun nadb. Hanya menunjukkan mubah.
c.
Pekerjaan Nabi Muhammad saw. Yang dapat dipahami
dari cara mengerjakannya, bahwa itu dikerjakan atas dasar suapaya diikut oleh
umatnya. Seperti apabila Nabi makan dan minum dengan semacam cara, maka pekerjaan-pekerjaan
itu lebih tinggi nilainya daripada pekerjaan yang semata-mata dilakukan atas
dasar tabiat.
d.
Pekerjaan Nabi Muhammad saw. Yang telah
diketahu secara nyata bahwa pekerjaan itu khusus untuk pribadi beliau. Seperti
beliau beristeri lebih dari empat. Pekerjaan ini tidak untuk diikuti oleh
umatnya.
e.
Pekerjaan Nabi Muhammad saw. Yan dikerjakan
terhadap seseorang sebagai siksa. Tentang ini perlu diperhatikan lebih dahulu
sebab Nabi mengerjakannya. Jika belum diperoleh sebabnya yang terang bagi kita,
maka tidak seharusnya kita mengikutinya.
f.
Pekerjaan Nabi Muhammad saw. Yang dikerjakan
untuk menerangkan hukum-hukum yang mujmal. Tentang ini tergantung pada apa yang
diterangkannya. Seperti jika yang mujmal itu wajib, maka apa yang dikerjakan oleh Nabi
adalah wajib.
g.
Pekerjaan Nabi Muhammad saw. Yang dikerjakan
untuk menerangkan kebolehan saja, walaupun asalnya tidak disukai oleh beliau,
seperti beliau mengerjakan sesuatu esudah pernah beliau melarangnya. Tentang
hal ini adalah menunjukkan kebolehan diikuti oleh umatnya.[11]
2.
Sunnah Tarkiyah
Sunah Nabi Muhammad saw. Adakalanya dengan
mengerjakan dan adakalanya dengan meninggalkan. Apabila Nabi mengerjakan
sesuatu, maka mengerjakan perbuatan itu bagi umatnya dihukum sunahnya.
Sebaliknya apabila Nabi meninggalkan sesuatu, maka meninggalkan sesuatu bagi
umatnya disebut juga dengan sunah.
Kita diperintahkan untuk mengikuti Nabi dalam
segala perbuatannya yang dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
selama hal tersebut tidak masuk dalam sunah yang dikhususkan untuk beliau. Kita
juga diperintahkan meninggalkan pekerjaan atau perbuatan-perbuatan yang tidak
beliau kerjakan yang meninggalkan itu dipandang sebagai ketaatan. Tegasnya,
kita tidak mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan
pekerjaan-pekerjaan yang Nabi kerjakan, tidak juga kita mendekatkan diri kepada
Allah atau beribadah dengan mengerjakan sesuatu yang Nabi tinggalkan. Jadi,
tidak ada perbedaan antara orang yang mengerjakan apa yang Nabi kerjakan dengan
orang yang meninggalkan apa yang Nabi kerjakan dalam urusan ibadah dan taat.[12]
Pada pasal ini yang dimaksud dengan sunnah
tarkiyah adalah
sesuatu yang tidak Nabi kerjakan padahal tidak ada halangan untuk dikerjakan
pada masa beliau dan terdapat juga sebab-sebab yang cukup untuk dilakukan pada
masa itu. Seperti Nabi meninggalkan azan pada salat dua hari raya, mandi pada
tiap-tiap akan salat, dan lain sebagainya.
Pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak pernah
dikerjakan oleh Nabi Muhammad sepanjang hayatnya, padahal tidak ada halangan
untuk mengerjakannya dan terdapat cukup sebab-sebab yang menghendaki dipandang
sebagai ibadah. Adapun sebab-sebab yang menghendakinya telah ada, yaitu untuk
mendekatkan diri atau beribadah kepada Allah dan pada masa itu adalah masa tasyri’, masa keterangan tentang
hukum-hukum syariat. Jika pekerjaan-pekerjaan itu termasuk ibadah untuk
mengabdikan diri kepada Allah, maka Nabi tidak meninggalkannya sepanjang masa.
Padahal kewajiban Nabi Muhammad saw. Untuk menyampaikan risalah dan terpelihara
dari perbuatan menkhianati risalah. Jelaslah bahwa yang diperintahkan itu ialah
untuk meninggalkan dan jika dikerjakan, maka akan menyalahi apa yang telah
diperintahkan. Dengan demikian, maka tidaklah mungkin akan mendekatkan diri
kepada Allah atau beribadah kepadanya dengan pekerjaan-pekerjaan yang Nabi
tinggalkan, karena beribadah kepada Allah harus dengan pekerjaanpekerjaan yang
diperintah atau ada contohnya dari Nabi sendiri.[13]
Terkait pekerjaan yang dilakukan oleh para
khalifah yang pada masa Nabi tidak pernah dikerjakan itu dapat terjadi. Hal ini
dikarenakan sebab yang menghendaki perbuatan tersebut baru terjadi pada masa
para khalifah. Seperti pengumpulan alquran dalam satu mushaf pada masa
pemerintahan Abu Bakar. Atau di masa Nabi ada sebab yang menghendakinya namun
terhalang untuk mengerjakannya. Seperti salat tarawih dengan berjamaah,
halangan mengerjakan salat tarawih dengan berjamaah –pada tiap malam di bulan
Ramadan- adalah dikhawatirkan menjadi wajib oleh segenap umat. Setelah halangan
yang ditakuti itu hilang dan telah selesainya penurunan wahyu kepada Nabi, maka
sahlah kembali salat tarawih secara berjamaah pada masa para khalifah.[14]
Dengan demikian, jelaslah bahwa apa yang para
khalifah kerjakan tidaklah bertentangan dengan dalil yang ada. Akan tetapi apa
yang mereka kerjekan didasarkan pada mashlahat mursalah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab pembahasan, kita
dapat menarik kesimpulan sekaligus sebagai jawaban dari rumusan masalah yang
ada pada makalh ini. Kesimpulan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.
Pengertian sunnah fi’liyah adalah sunah yang berupa perbuatan atau segala
sesuatu yang telah dikerjakan oleh Nabi Muhammad saw. Sedangkan sunnah
tarkiyah adalah
perbuatan yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi atau tidak pernah
diperintahkan oleh Nabi untuk dikerjakan.
2.
Bentuk sunnah fi’liyah secara umum ulama membaginya dalam lima
bagian, namun ada juga yang membaginya dalam tujun bagian. Setiap bagian
tersebut mempunyai hukum yang berbeda-beda. Sedangkan bentuk sunnah
tarkiyah adalah
segala perbuatan yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi padahal tidak halangan
untuk mengerjakannya dan terdapat cukup sebab untuk dilaksanakan.
B. Implikasi
Mudah-mudahan dengan kelahiran makalah ini
dapat menambah pengetahuan kita mengenai sunah. Namun, kami menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Seperti masih
ada pembahasan yang belum kami sampaikan yang terkait dengan materi yang telah
ada dalam makalah ini. Hal ini dikarenakan terbatasnya kemampuan penulis. Serta
masih ada banyak kekeliruan dan kesalahan. Oleh karena itu, sangat diharapkan
adanya kritik dan saran yang membangun atau lainnya demi kesempurnaan makalah
ini di masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Azis, Syaikh Sa’ad. Buku Pintar Sunnah dan
Bid’ah. Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Al-Amidi, Saifuddin. Al-Ahkām Fī Ushūl al-Ahkām. Beirut:
Dār al-Kutub Ilmiyah, t. th.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Kriteria Antara Sunnah
dan Bid’ah. Cet. XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Chalil, K. H. Moenawar. Kembali Kepada Alquran
dan Sunnah. Cet. XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Hafid, Erwin. Hadis Nabi Menurut Perspektif Muhammad
al-Gazali dan Yusuf al-Qarawi: Diskursus tentang Otoritas, Autentisitas, dan
Aplikasinya. Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2011.
Ibn Manzur. Lisān al-‘Arab. Juz II. Bairut: Dār al- Sādir, t. th.
Ibrahim al-Syātibi, Abū Ishāq. Al-‘Itisham. Al-Qāhira: Dār
al-Hadīst, 2003.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushūl al-Hadīst:
Ulūmuh wa Mushtalahah. Cet. III; Bairut: Dār al-Fikr, 1975.
Al-Syaukani, Muhammad Bin Ali. Irsyādu al-Fuhūl:
Ilā Tahqīqi al-Haqqi Min ‘Ilmi Ushūli. Libanon: Dār al-Kutub Ilmiyah, t.
th.
W. Brown, Daniel. Menyoal Relevansi Sunnah dalam
Islam Modern. Cet. I; Bandung: Mizan, 2000
[1]Erwin Hafid, HADIS NABI MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD AL GAZALI DAN YUSUF AL QARAWI: Diskursus
tentang otoritas, autensitas dan aplikasinya (Cet. I; Makassar: Alauddin
Press, 2011), h. 17.
[2]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Cet.
XI; Jakara: Bulan Bintang, 1993), h. 24.
[3]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushūl al-Hadīs: ‘Ūlumuh wa Mustalahah (Cet.
III; Bairut: Dār al-Fikr, 1975), h. 17.
[4]Erwin Hafid, op., cit., h, 19-20.
[5]K. H. Moenawar Chalil, Kembali Kepada Alqur’an dan Sunnah (Cet.
IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 210. Lihat juga Syaikh Sa’ad Yusuf Abu
Aziz, Buku Pintar Sunnah dan Bid’ah (Cet
I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 25.
[6]K. H. Moenawar Chalil, loc.cit.,
[7]Syaikh Sa’ad Yusuf Abu Aziz, op.cit., h. 28.
[8]K. H. Moenawar Chalil, Kembali Kepada Alqur’an dan Sunnah (Cet.
IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 210-211. Lihat juga Hasbi Ash-Shiddieqy, op.
cit., h. 32- 33.
[9]K. H. Moenawar Chalil, op.cit.,
h. 212.
[12]Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit.,
h. 34-35.
[13]K. H. Moenawar Chalil, op.cit.,
h. 215.
[14]Ibid.
0 komentar: