Next
Previous

Minggu, 24 November 2013

2

Puisi WS Rendra


Sajak Rajawali

sebuah sangkar besi
tidak bisa mengubah rajawali
menjadi seekor burung nuri

rajawali adalah pacar langit
dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti

langit tanpa rajawali
adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma
tujuh langit, tujuh rajawali
tujuh cakrawala, tujuh pengembara

rajawali terbang tinggi memasuki sepi
memandang dunia
rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya

hidup adalah merjan-merjan kemungkinan
yang terjadi dari keringat matahari
tanpa kemantapan hati rajawali
mata kita hanya melihat matamorgana

rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia
dan ia akan mematuk kedua matamu
wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka















Bahwa Kita Ditatang Seratus Dewa


Pengarang: W.S Rendra


Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara engkau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerana setiap orang mengalaminya
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahsia langit dan samodra
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
tetapi demi kehormatan seorang manusia.
kerana sesungguhnya kita bukanlah debu
meski kita telah reyot,tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorang pun berkuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak peranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana dahulu kita tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi,dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerana bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan,manusia sesama,nasib dan kehidupan.
Lihatlah! sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahawa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dr kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa hidup kita ditatang seratus dewa.

~ W.S Rendra ~
1972



































Sabtu, 23 November 2013

0

Sejarah Perkembangan Teologi Islam




SEJARAH  PERKEMBANGAN TEOLOGI  ISLAM






Makalah


Oleh:
Al Muhajirin Cula
NIM: 30300112001
Ahadi Syawal
NIM: 30300112002
Husna Amaliyah Taufiq
NIM: 303001120



JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2013





BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Kepercayaan suatu agama merupakan pokok dasarnya. Islam sebagai agama yang mengingkari agama Yahudi dan Nasrani serta agama-agama berhala, merasa perlu menjelaskan pokok-pokok dasar ajaran agamanya dan segi-segi dakwah yang menjadi tujuannya. Al- Qur’an dan hadis-hadis Nabi Muhmmad saw. Banyak membicarakan tentang wujud Tuhan, keagungan, dan keesaanNya. Al- Qur’an terutama, menyebutkan untuk Tuhan sifat-sifat yang banyak sekali, dimana sebagiannya bertalian dengan zat Tuhan sendiri, dan sebagian lagi menyatakan dengan macamnya hubungan dengan makhluknya. Seperti mendengar, melihat, maha adil, menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, dan seterusnya.[1]
Akan tetapi gaya (uslub) bahasa ayat-ayat al- Qur’an dan hadis-hadis tersebut lebih mendekati pada gaya percakapan, memberi nasehat dan petunjuk, daripada gaya penguraian secara ilmiah. Kita tidak dapat mengatakan al- Qur’an dan hadis Nabi berisi uraian yang teratur dan sistematis tentang kepercayaan dan meletakkan metode yang lengkap serta mencakup untuk Ilmu Tauhid (teologi islam). Memang hal ini bukan menjadi tugas para Rasul dan Nabi, tetapi mereka bekerja dalam bidang perbaikan ummat, dimana perhatian ditujukan kepada penyiaran dakwah. Penyusunan ilmu yang semacam itu menjadi tugas para pengikut dan orang-orang yang datang sesudahnya.[2]
Teologi sebagaimana yang diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.[3]
Teologi dalam islam disebut juga ‘ilmu al- tauhīd. Kata tauhīd mengandung arti satu atau esa. keEsaan dalam pandangan islam sebagai agama monotheisme, merupakan sifat yang terpenting di antara sifat-sifat Tuhan. Selanjutnya teologi islam disebut juga ‘ilmu al- kalam. Kalam adalah kata-kata. Kalau yang dimaksud kalam adalah firman Tuhan, maka teologi dalam islam disebut ‘ilmu al- kalam, karena soal kalam atau firman Tuhan atau al- Qur’an pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras dikalangan umat islam di abad kesembilan dan kesepuluh masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan terhadap sesama muslim waktu itu.[4]
Oleh karena itu, dipandang perlu untuk diketahui bagaimana sejarah perkembangan teologi islam atau ‘ilmu al- kalam. Karena teologi akan memberi pandangan yang lebih lapang dan sikap yang lebih toleran, baik dalam hal hukum terutama dalam hal berpikir aliran-aliran kalam.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapatlah ditarik beberapa rumusan masalah yang akan menjadi titik fokus dalam pembahasan makalah ini. Rumusan masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah perkembangan teologi islam (ilmu kalam) pada zaman Nabi Muhammad saw ?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan teologi islam (ilmu kalam) pada zaman khulafāurrāsyidin ?
3.      Bagaimana sejarah perkembangan teologi islam (ilmu kalam) pada zaman pasca khulafāurrāsyidin ?



BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Harun Nasution, persoalan yang pertama-tama muncul sehingga lahir perdebatan dalam bidang kalam atau teologi adalah persoalan politik. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Agar persoalan ini menjadi jelas, berikut akan diuraikan sejarah perkembangan kemunculan kalam atau teologi dalam islam.
A.       Sejarah Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman Nabi Muhammad saw.
Teologi atau ilmu kalam sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad maupun pada zaman sahabatnya.  Akan tetapi baru dikenal pada masa berikutnya, setelah ilmu-ilmu keislaman satu persatu muncul dan setelah orang banyak membicarakan masalah-masalah alam gaib atau metefisika.[5]
Sahabat-sahabat Nabi waktu itu berkumpul dihadapan Nabi untuk mendengarkan wahyu ilahi yang turun sewaktu-waktu. Ada diantara mereka yang menulis wahyu dan ada yang hanya menghapal di luar kepala.[6] apabila terdapat suatu kesulitan atau sesuatu yang tidak dapat dipahami, maka mereka dapat menanyakannya secara langsung kepada Rasul.[7] Apabila mereka mendengarkan atau mambaca ayat yang menerangkan tentang sifat Tuhan, maka mereka lantas yakin seyakin-yakinnya. Dengan demikian, tiadalah sesuatu yang diragukan atau dipersilisihkan. Nabi dapat menyelesaikan persoalan dengan sebaik-baiknya dan juga mudah dimengerti oleh sahabat.
Seperti, firman Allah swt. Sebagai berikut:
ö/ä3ßg»s9Î)ur ×m»s9Î) ÓÏnºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ß`»yJôm§9$# ÞOŠÏm§9$# ÇÊÏÌÈ
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al- Baqarah: 163)

Para sahabat Nabi karena mereka orang Arab, sedang al- Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab pula, mereka dapat menangkap isi dan arti yang hakiki dari ayat-ayat al- Qur’an itu, sehingga mereka yakin bahwa Allah itu Esa, sifatnya pengasih dan penyayang, mereka tidak tanya-tanya lagi. Demikian cara Nabi menyampaikan ajaran ketauhidan-Nya kepada para sahabat.[8]
Persoalan politik sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian awal yang kelak meningkat menjadi persoalan teologi belum terjadi pada masa ini. Meskipun pada masa ini islam telah bersinggungan dengan politik. Hal ini dapat kita lihat dalam sejarah penyebaran islam di Hijaz, baik pada periode Mekah maupun pada periode Madinah.
Ketika di Mekah Nabi Muhammad saw. Hanya mempunyai fungsi sebagai kepala agama dan tidak mempunyai fungsi kepala pemerintahan, karena kekuasaan politik yang ada di sana belum dapat dijatuhkan pada waktu itu. Kekuasaan politik di kota ini terletak dalam tangan pedagang tinggi. Sebaliknya di Madinah, Nabi Muhammad saw. Menjadi kepala agama sekaligus kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini. Sebelum itu tidak ada kekuasaan politik di kota ini.[9]
B.       Sejarah Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman khulafāurrāsyidin
Ketika Nabi Muhammad saw. Wafat pada tanggal 12 Rabiul awwal tahun 11 H/632 M daerah kekuasaan Madinah tidak hanya terletak pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh semenanjung Arabia. Negara Islam di waktu itu, seperti digambarkan oleh W. M. Watt, telah merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang telah mengikat tali persekutuan dengan Nabi Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga masyarakat Mekah sebagai intinya.[10]
Jadi tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada waktu wafatnya Nabi Muhammad sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai nagara yang baru lahir itu, sehingga penguburan Nabi merupakan persoalan kedua bagi mereka. Timbullah soal khilāfah, soal pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala Negara. Sebagai Nabi atau Rasul, tentu tidak dapat digantikan.[11]
Kendatipun Rasul saw. Tidak menunjuk seorang khalifah (pengganti) beliau namun tokoh-tokoh dalam masyarakat muslim mengetahui benar-benar bahwa islam menuntut adanya kekhalifaan yang didasarkan atas musyawarah. Tidak satu keluarga pun memonopoli pemerintahan, tidak seorang pun merampas kekuasaan dengan kekuatan atau paksaan, dan tidak seorang pun yang memuji dirinya atau memaksakan dirinya untuk mencapai kedudukan khalifah. Rakyat pada saat itu dengan sukarela telah memilih empat sahabat Nabi untuk diangkat sebagai khalifah.[12]
Sejarah meriwayatkan bahwa perdebatan yang lumayan sengit terjadi antara kaum Anshar dan Muhajirin dalam hal siapa yang berhak menjadi khalifah, akhirnya mereka sepakat mengankat Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai kepala Negara atau khalifah yang pertama. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh Umar Bin Khattab.
Pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar kondisi politik relatif stabil. Politik yang kelak menjadi persoalan teologi pada masa ini belum terjadi. Hal ini dikarenakan pada masa ini umat muslimin sibuk berperang melawan kaum muslimin yang murtad dengan mengikuti ajaran Musailamah alKazzab yang mengaku sebagai Nabi dan berperang melawan orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat pada waktu itu. Sedangkan pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab, umat islam sibuk melakukan ekspansi ke berbagai negeri, sehingga mereka tidak sempat memperdebatkan masalah-masalah teologi. Ekspansi yang dilakukan umat islam pada waktu itu seperti ke Persia, Syam, syiria, Palestina, Mesir, dan turki.
Setelah Umar wafat akibat ditikam ketika memimpin salat, dia digantikan oleh Usman Bin Affan sebagai khalifah. Usman termasuk golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri dari orang aristokrat Mekah yang karena pengalaman dagang mereka, mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang bertambah banyak masuk dalam kekuasaan Islam. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tidak sanggup menentang ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur-gubernur di daerah yang tunduk pada kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar Bin Khattab, khalifah yang terkenal sebagai khalifah yang kuat dan tidak memikirkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman.[13]
Tindakan politik yang dijalankan oleh Usman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan baginya. Sahabat-sahaba Nabi yang pada mulanya menyokong Usman, ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah atau ingin calonnya menjadi khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan tidak senang muncul di daerah-daerah. Dari Mesir, sebagai reaksi dijatuhkannya Amr Bin Ash yang digantikan oleh Abdullah Bin Sa’ad Bin Abi Sahr, salah satu anggota keluarga Usman, sebagai gubernur Mesir, lima ratus pemberontak berkumpul dan kemudian bergarak menuju Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir itu.[14]
Setelah Usman wafat, Ali menggantikannya menjadi khalifah. Tetapi segera pula ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah. Terutama Talha dan Zubair dari Mekah yang mendapat sokongan dari Aisyah ra. Tantangan dari Aisyah ini berhasil dipatahkan oleh Ali pada perang Jamal yang terjadi di Irak pada tahun 656 M. Talha dan Zubair mati terbunuh dan Aisyah dikembalikan ke Mekah.
Selanjutnya akibat persoalan politik yang menyangkut pembunuhan Usman Bin Affan, berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifaan Ali Bin Abi Thalib. Mu’awiyah sendiri adalah gubernur Damaskus dan merupakan keuarga terdekat Usman. Mu’awiyah menuduh Ali sebagai salah satu orang yang turut ikut campur dalam pembunuhan Usman. Ketegangan antara keduanya mengkristal menjadi perang Shiffin yang berakhir dengan keputusan tahkīm (arbitrase).[15]
Pada peperangan tersebut pasukan Mu’awiyah berhasil dipukul mundur. Tetapi dengan kelicikan salah satu tangan kanan Mu’awiyah yaitu Amr Bin Ash, meminta berdamai dengan mengankat al- Qur’an ke atas. Ali pun menerima ajakan perdamaian itu atas desakan para Qurra  yang ada dipihaknya. Maka dicarilah jalan perdamaian dengan arbitrase. Sebagai pengantara diangkat dua orang, yaitu Amr Bin Ash dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa alAsy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan antara keduanya terdapat permufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Mu’awiyah. Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa sebagai yang tertua yang terlebih dahulu mengumumkan kepada orang ramai putusan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan tersebut. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr Bin Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang telah diumumkan oleh Abu Musa, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah.[16]  
Bagaimanapun peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah. Ali tetap menjadi khalifah yang legal, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak oleh Ali dan tidak mau meletakkan jabatannya, sampai ia mati terbunuh pada tahun 661 M.[17]
Sikap Ali yang menerima ajakan tersebut, sungguhpun berada dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi pada saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang dari  Allah  dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al- Qur’an. Menurut mereka la hukma illa lillāh (tidak hukum selain hukum Allah) atau la hakama illa allāh (tidak ada pengantara selain Allah) menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam mereka terkenal dengan nama Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau secerders.[18]  Di luar pasukan Ali yang membelot ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kelak disebut Syiah.
Akhirnya, setelah terbunuhnya Ali Bin Abi Thalib pada peristiwa ini, maka berakhir pula masa pemerintahan khulafāurrāsyidin.
C.       Sejarah Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman Pasca Khulafāurrāsyidīn
Setelah berakhirnya masa pemerintahan khulafāurrāsyidin, perpecahan dikalangan umat Islam semakin meruncing. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagaimana yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya akhirnya membawa pada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang masih ada dalam Islam dan siapa yang telah keluar dari Islam.
Khawarij memandang bahwa Ali, Mu’awiyah, Amr Bin Ash, dan Abu Musa al Asyari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir. Hal ini menurut mereka sesuai dengan firman Allah sebagai barikut:
 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$#
“barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.(Q.S. al- Maidah: 44)

Ayat inilah yang mereka jadikan semboyan. Karena empat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti telah keluar dari Islam, yaitu murtad atau apostate, mereka mesti dibunuh. Maka kaum Khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh Ali Bin Abi Thalib yang berhasil dalam tugasnya.[19]
Lambat laun kaum Khawarij terpecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum berdasarkan al- Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib al-kabair atau capital sinners, juga dipandang kafir. Persoalan berbuat dosa besar inilah kemudian mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya teologi dalam Islam. Persoalannya ialah masikah bisa dipandang mukmin atau sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu ?[20]
Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar adalah kafir. Dinyatakan keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan oleh karena itu wajib dibunuh.[21] Ada juga diantara kaum khawarij yang bersifat netral. Mereka memberi dukungan kepada Ali dalam peperangan, bukan kepada lawan-lawannya.[22]
Selanjutnya aliran Syiah yang fanatik kepada Ali dan keturunannya. Mereka berpendapat bahwa tidak seorang pun yang berhak memegang kekhalifaan kecuali keturunan Ali. Kalau ada yang mengakui khalifah bukan dari keturunan Ali, berarti merampas hak kekuasaan. Kekhalifaannya tidak sah. Tetapi akhirnya partai ini dimasuki pula anasir-anasir yang bukan-bukan, yang menyimpang dari pokok agama.[23]
Syiah berkeyakinan bahwa khilāfah dan imamah ditetapkan berdasarkan atas pencalonan dan penunjukan, baik tertutup maupun terbuka. Mereka juga mempertahankan bahwa imāmah itu harus tetap berada pada keluarga Ali; jika imāmah itu pernah berada di luar keluarga Ali, hal itu disebabkan sebuah kekeliruan pada pihak lain atau karena taqiyyah dipihak imam yang benar. Menurut mereka, imāmah bukanlah masalah sipil yang secara sah diselesaikan dengan kehendak rakyat lewat penunjukan seorang imam berdasarkan atas pilihan mereka sendiri. Imāmah adalah masalah fundamental dan merupakan sebuah elemen dasar dari suatu agama. Para utusan Allah tidak boleh mengabaikan atau tidak memperdulikan, apalagi menyerahkannya pada pilihan rakyat kebanyakan.[24]
Selanjutnya aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang diperbuatnya, terserah kepada Allah swt. Untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Mereka memandang perbuatan-perbuatan itu bersifat sekunder daripada niat dan ketetapan hati.[25]
Selanjutnya aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berbuat dosa besar tidak kafir dan tidak pula mukmin.  Orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa arabnya terkenal dengan istilah al manzila baina al manzilatain (posisi di antara dua posisi).[26] Mu’tazilah sendiri adalah aliran yang bercorak rasional dan cenderung liberal. Pemikiran mereka ini tidak lain karena dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani klasik yang sangat mengagungkan akal pikiran. Hal ini didapatkan dari penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam Bahasa Arab. Bahkan aliran ini pernah menjadi mazhab resmi Negara, yaitu pada masa pemerintahan khalifah al Ma’mun (813-833 M). Namun, pada masa pemerintahan khalifah al Mutawakkil di tahun 856 M, mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dibatalkan. Dengan demikian kaum Mu’tazilah kembali pada kedudukan mereka semula. Tetapi kini mereka telah mempunyai lawan yang tidak sedikit dari kalangan umat Islam.[27]
Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran yang terkenal dalam teologi dengan nama Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Jabariyah sebaliknya berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala tingkah lakunya, menurut paham Jabariyah bertindak atas paksaan dari Tuhan. Segala gerak geriknya ditentukan oleh Tuhan.
Kemudian bentuk aliran teologi tradisionil yang disusun oleh Abu Hasan al Asy’ari (935 M). al Asy’ari sendiri pada mulanya adalah seorang mu’tazilah, kemudian beliau keluar lalu mendirikan aliran baru yang terkenal dengan nama Asy’ariyah. Di samping aliran Asy’ariyah timbul pula aliran di Smarkand yang didirikan oleh Abu Mansur al Maturidi (w. 944 M). kemudian aliran ini terkenal dengan nama Maturidiyah. Kedua aliran tradisionil ini sama-sama menentang ajaran yang dipahami oleh aliran Mu’tazilah. Selain keduanya ada pula aliran tradisionil yang juga menentang paham Mu’tazilah. Mereka adalah pengikut-pengikut mazhab Hambali dan pengikut-pengikut dari Abu Hanifah yang dibawa oleh al Tahawi (w. 933) dari Mesir. Tetapi ajaran al Tahawi tidak menjelma menjadi ajaran teologi dalam Islam.
Menurut A. Hanafi M.A., perselisihan-perselisihan dalam soal dosa besar (pembunuhan) sudak bercorak agama, yang sebelumnya masih bercorak politik dan kemudian menjadi pembicaraan penting dalam teologi Islam. Sebagaimana soal khilafat dan imamah sebenarnya lebih tepat dimasukkan dalam ilmu fiqh, karena bertalian dengan hukum amalan lahir, bukan dalam bidang kepercayaan.[28]
Dengan demikian, aliran-alian teologi penting yang timbul dalam Islam adalah aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. aliran Khawarij, Murjiah, dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang keduanya disebut Ahl Sunnah wa al Jama’ah . aliran Maturidiyah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariyah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali paham rasionalisme ke dunia Islam, yang kalau dahulu masuknya melalui kebudayaan Yunani klasik akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali dikalangan intelegensia Islam yang mendapatkan pendidikan Barat. Kata neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.[29]





BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan ini juga menjadi jawaban atas rumusan masalah yang ada pada makalah ini. Kesimpulan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.         Teologi pada zaman Nabi Muhammad saw. Belum dikenal. Hal ini dikarenakan belum ada sahabat-sahabat atau umat Islam pada masa itu yang membicarakan soal teologi. Kalau ada hal yang tidak dapat dipahami para sahabat pada waktu itu, bisa langsung ditanyakan kepada Nabi. Jadi, kehidupan pada masa itu menjadi sangat mudah karena ada Nabi sebagai penerang dan penjelas.
2.         Pada masa pemerintahan khulafāurrasyidīn terutama masa kepemimpinan khalifah Abu Bakar dan Umar, persoalan politik yang kelak menjadi persolan teologi belum terjadi. Situasi politik pada masa ini relatif stabil. Baru pada masa kepemimpinan Usman situasi politik mulai bergolak tetapi belum menyentuh ranah teologi. Masa kepemimpinan Ali persoalan politik sudah rapuh dan rentang, sehingga terjadi perang antara Ali dan Mu’awiyah yang akibatnya Ali kalah dan sebagian tentaranya keluar menentangnya yang kelak disebut Khawarij.
3.         Pasca jatuhnya kekhalifaan khulafāurrasyidīn keadaan di antara umat Islam semakin memanas. Persoalan politik yang sekedar hanya berada pada perebutan kekuasaan meningkat menjadi pelaku dosa besar, kemudian meningkat menjadi siapa yang masih muslim dan siapa yang kafir atau sudah keluar dari Islam. Selanjutnya mulai bermunculan aliran-aliran yang membahas tentang teologi, seperti aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Qadariyah, dan Jabariyah.   
B.       Implikasi
Mudah-mudahan dengan kelahiran makalah ini, dapat menambah pengetahuan kita khususnya mengenai sejarah perkembangan teologi dalam Islam. Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah masih terdapat kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya kritik dan saran yang membangun atau lain-lainnya demi kesempurnaan makalah ini.













DAFTAR PUSTAKA
Al Syahrastani, Muhammad Ibn Abd Karim, al Milal wa al Nihāl : Aliran-aliran Teologi Dalam Islam, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004.

Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001.

A.  Hanafi M. A., Pengantar Teologi Islam, Jakarta: P. T. JAYAMURNI, 1974.
Nasution, Harun, TEOLOGI ISLAM: ALIRAN-ALIRAN, SEJARAH, ANALISA PERBANDINGAN, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.

Siswanto, Deding, ILMU KALAM, Bandung: CV. ARMICO, 1990.
Thahir Abd. Muin, Taib, ILMU KALAM, Jakarta: WIDJAYA, 1973.












[1]A. Hanafi M.A., PENGANTAR THEOLOGY ISLAM (Cet. II;  Jakarta:  P. T. JAYAMURNI, 1974), h. 18.
[2]Ibid .
[3]Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT  UNIVERSITAS INDONESIA, 1986), h. ix.   
[4]Ibid.
[5]Deding Siswanto, ILMU KALAM (Bandung: CV. ARMICO, 1990), h. 31. Lihat Juga A. Hanafi M.A., PENGANTAR THEOLOGY ISLAM (Cet. II;  Jakarta:  P. T. JAYAMURNI, 1974), h. 18.
[6] Deding Siswanto, ILMU KALAM (Bandung: CV. ARMICO, 1990), h. 31.
[7]Hanafi M.A., PENGANTAR THEOLOGY ISLAM (Cet. II;  Jakarta:  P. T. JAYAMURNI, 1974), h. 19.
[8] Deding Siswanto, op. cit., h. 32.
[9]Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT  UNIVERSITAS INDONESIA, 1986), h. 3.
[10] Ibid.
[11]Ibid.
[12] Deding Siswanto, ILMU KALAM (Bandung: CV. ARMICO, 1990), h. 32.
[13] Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT  UNIVERSITAS INDONESIA, 1986),  h. 4.
[14] Ibid.
[15] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001),  h. 27-28. Lihat juga Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT  UNIVERSITAS INDONESIA, 1986),  h. 4-5.
[16] Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa  perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT  UNIVERSITAS INDONESIA, 1986),  h. 5. Lihat juga Al Syahrastani, al- Milal wa al- Nihāl: Aliran-aliran Teologi Dalam Islam (Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h. 182.
[17] Ibid.
[18]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001), h. 28. Lihat juga Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT  UNIVERSITAS INDONESIA, 1986),  h. 6.

[19] Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT  UNIVERSITAS INDONESIA, 1986),  h. 7.
[20] Ibid.
[21]Ibid.
[22] Al Syahrastani, al- Milal wa al- Nihāl: Aliran-aliran Teologi Dalam Islam (Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h. 211.
[23] Taib Thahir Abd. Muin, ILMU KALAM (Cet. II; Jakarta: Penerbit Widjaya, 1973), h. 92.
[24] Al Syahrastani, al- Milal wa al- Nihāl: Aliran-aliran Teologi Dalam Islam (Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h. 225.
[25] Harun Nasution,  TEOLOGI ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan (Cet. V; Jakarta: PENERBIT  UNIVERSITAS INDONESIA, 1986),  h. 7. Lihat juga Al Syahrastani, al- Milal wa al- Nihāl: Aliran-aliran Teologi Dalam Islam (Cet. I; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h. 215.
[26]Ibid.
[27] Ibid, h. 8-9.
[28] A. Hanafi M.A., PENGANTAR THEOLOGY ISLAM (Cet. II;  Jakarta: P. T. JAYAMURNI, 1974), h. 20.
[29]Harun Nasution, op. cit., h. 10.