SEJARAH
PERKEMBANGAN TEOLOGI ISLAM
Makalah
Oleh:
Al Muhajirin Cula
NIM: 30300112001
Ahadi Syawal
NIM: 30300112002
Husna Amaliyah Taufiq
NIM: 303001120
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kepercayaan
suatu agama merupakan pokok dasarnya. Islam sebagai agama yang mengingkari
agama Yahudi dan Nasrani serta agama-agama berhala, merasa perlu menjelaskan
pokok-pokok dasar ajaran agamanya dan segi-segi dakwah yang menjadi tujuannya.
Al- Qur’an dan hadis-hadis Nabi Muhmmad saw. Banyak membicarakan tentang wujud
Tuhan, keagungan, dan keesaanNya. Al- Qur’an terutama, menyebutkan untuk Tuhan
sifat-sifat yang banyak sekali, dimana sebagiannya bertalian dengan zat Tuhan
sendiri, dan sebagian lagi menyatakan dengan macamnya hubungan dengan
makhluknya. Seperti mendengar, melihat, maha adil, menciptakan, memberi rezeki,
menghidupkan, mematikan, dan seterusnya.
Akan
tetapi gaya (uslub) bahasa ayat-ayat
al- Qur’an dan hadis-hadis tersebut lebih mendekati pada gaya percakapan,
memberi nasehat dan petunjuk, daripada gaya penguraian secara ilmiah. Kita
tidak dapat mengatakan al- Qur’an dan hadis Nabi berisi uraian yang teratur dan
sistematis tentang kepercayaan dan meletakkan metode yang lengkap serta
mencakup untuk Ilmu Tauhid (teologi islam). Memang hal ini bukan menjadi tugas
para Rasul dan Nabi, tetapi mereka bekerja dalam bidang perbaikan ummat, dimana
perhatian ditujukan kepada penyiaran dakwah. Penyusunan ilmu yang semacam itu
menjadi tugas para pengikut dan orang-orang yang datang sesudahnya.
Teologi
sebagaimana yang diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama.
Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu
mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari
teologi akan memberi keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang
kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.
Teologi
dalam islam disebut juga ‘ilmu al-
tauhīd. Kata tauhīd mengandung
arti satu atau esa. keEsaan dalam pandangan islam sebagai agama monotheisme,
merupakan sifat yang terpenting di antara sifat-sifat Tuhan. Selanjutnya
teologi islam disebut juga ‘ilmu al-
kalam. Kalam adalah kata-kata. Kalau
yang dimaksud kalam adalah firman
Tuhan, maka teologi dalam islam disebut ‘ilmu
al- kalam, karena soal kalam atau firman Tuhan atau al- Qur’an pernah
menimbulkan pertentangan-pertentangan keras dikalangan umat islam di abad
kesembilan dan kesepuluh masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan
terhadap sesama muslim waktu itu.
Oleh
karena itu, dipandang perlu untuk diketahui bagaimana sejarah perkembangan
teologi islam atau ‘ilmu al- kalam.
Karena teologi akan memberi pandangan yang lebih lapang dan sikap yang lebih
toleran, baik dalam hal hukum terutama dalam hal berpikir aliran-aliran kalam.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas, maka dapatlah ditarik beberapa rumusan masalah
yang akan menjadi titik fokus dalam pembahasan makalah ini. Rumusan masalah
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
sejarah perkembangan teologi islam (ilmu kalam) pada zaman Nabi Muhammad saw ?
2. Bagaimana
sejarah perkembangan teologi islam (ilmu kalam) pada zaman khulafāurrāsyidin
?
3. Bagaimana
sejarah perkembangan teologi islam (ilmu kalam) pada zaman pasca khulafāurrāsyidin
?
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut
Harun Nasution, persoalan yang pertama-tama muncul sehingga lahir perdebatan
dalam bidang kalam atau teologi adalah persoalan politik. Tetapi persoalan
politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Agar persoalan ini
menjadi jelas, berikut akan diuraikan sejarah perkembangan kemunculan kalam
atau teologi dalam islam.
A. Sejarah
Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman Nabi Muhammad saw.
Teologi atau
ilmu kalam sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pada zaman
Nabi Muhammad maupun pada zaman sahabatnya.
Akan tetapi baru dikenal pada masa berikutnya, setelah ilmu-ilmu
keislaman satu persatu muncul dan setelah orang banyak membicarakan
masalah-masalah alam gaib atau metefisika.
Sahabat-sahabat
Nabi waktu itu berkumpul dihadapan Nabi untuk mendengarkan wahyu ilahi yang
turun sewaktu-waktu. Ada diantara mereka yang menulis wahyu dan ada yang hanya
menghapal di luar kepala. apabila
terdapat suatu kesulitan atau sesuatu yang tidak dapat dipahami, maka mereka
dapat menanyakannya secara langsung kepada Rasul.
Apabila mereka mendengarkan atau mambaca ayat yang menerangkan tentang sifat
Tuhan, maka mereka lantas yakin seyakin-yakinnya. Dengan demikian, tiadalah
sesuatu yang diragukan atau dipersilisihkan. Nabi dapat menyelesaikan persoalan
dengan sebaik-baiknya dan juga mudah dimengerti oleh sahabat.
Seperti, firman
Allah swt. Sebagai berikut:
ö/ä3ßg»s9Î)ur ×m»s9Î) ÓÏnºur ( Hw tm»s9Î) wÎ) uqèd ß`»yJôm§9$# ÞOÏm§9$# ÇÊÏÌÈ
“Dan
Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al- Baqarah: 163)
Para sahabat
Nabi karena mereka orang Arab, sedang al- Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab
pula, mereka dapat menangkap isi dan arti yang hakiki dari ayat-ayat al- Qur’an
itu, sehingga mereka yakin bahwa Allah itu Esa, sifatnya pengasih dan
penyayang, mereka tidak tanya-tanya lagi. Demikian cara Nabi menyampaikan
ajaran ketauhidan-Nya kepada para sahabat.
Persoalan
politik sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian awal yang kelak meningkat
menjadi persoalan teologi belum terjadi pada masa ini. Meskipun pada masa ini
islam telah bersinggungan dengan politik. Hal ini dapat kita lihat dalam
sejarah penyebaran islam di Hijaz, baik pada periode Mekah maupun pada periode
Madinah.
Ketika di Mekah
Nabi Muhammad saw. Hanya mempunyai fungsi sebagai kepala agama dan tidak mempunyai
fungsi kepala pemerintahan, karena kekuasaan politik yang ada di sana belum
dapat dijatuhkan pada waktu itu. Kekuasaan politik di kota ini terletak dalam
tangan pedagang tinggi. Sebaliknya di Madinah, Nabi Muhammad saw. Menjadi
kepala agama sekaligus kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan
politik yang dipatuhi di kota ini. Sebelum itu tidak ada kekuasaan politik di
kota ini.
B. Sejarah
Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman khulafāurrāsyidin
Ketika Nabi
Muhammad saw. Wafat pada tanggal 12 Rabiul awwal tahun 11 H/632 M daerah
kekuasaan Madinah tidak hanya terletak pada kota itu saja, tetapi boleh
dikatakan meliputi seluruh semenanjung Arabia. Negara Islam di waktu itu,
seperti digambarkan oleh W. M. Watt, telah merupakan kumpulan suku-suku bangsa
Arab, yang telah mengikat tali persekutuan dengan Nabi Muhammad dalam berbagai
bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga masyarakat Mekah sebagai
intinya.
Jadi tidak
mengherankan kalau masyarakat Madinah pada waktu wafatnya Nabi Muhammad sibuk
memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai nagara yang baru lahir itu, sehingga
penguburan Nabi merupakan persoalan kedua bagi mereka. Timbullah soal khilāfah, soal pengganti Nabi Muhammad
sebagai kepala Negara. Sebagai Nabi atau Rasul, tentu tidak dapat digantikan.
Kendatipun Rasul
saw. Tidak menunjuk seorang khalifah (pengganti) beliau namun tokoh-tokoh dalam
masyarakat muslim mengetahui benar-benar bahwa islam menuntut adanya
kekhalifaan yang didasarkan atas musyawarah. Tidak satu keluarga pun memonopoli
pemerintahan, tidak seorang pun merampas kekuasaan dengan kekuatan atau
paksaan, dan tidak seorang pun yang memuji dirinya atau memaksakan dirinya
untuk mencapai kedudukan khalifah. Rakyat pada saat itu dengan sukarela telah
memilih empat sahabat Nabi untuk diangkat sebagai khalifah.
Sejarah
meriwayatkan bahwa perdebatan yang lumayan sengit terjadi antara kaum Anshar
dan Muhajirin dalam hal siapa yang berhak menjadi khalifah, akhirnya mereka
sepakat mengankat Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai kepala Negara atau khalifah
yang pertama. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh Umar Bin Khattab.
Pada masa
pemerintahan khalifah Abu Bakar kondisi politik relatif stabil. Politik yang
kelak menjadi persoalan teologi pada masa ini belum terjadi. Hal ini
dikarenakan pada masa ini umat muslimin sibuk berperang melawan kaum muslimin
yang murtad dengan mengikuti ajaran Musailamah alKazzab yang mengaku sebagai
Nabi dan berperang melawan orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat pada waktu
itu. Sedangkan pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab, umat islam sibuk
melakukan ekspansi ke berbagai negeri, sehingga mereka tidak sempat
memperdebatkan masalah-masalah teologi. Ekspansi yang dilakukan umat islam pada
waktu itu seperti ke Persia, Syam, syiria, Palestina, Mesir, dan turki.
Setelah Umar
wafat akibat ditikam ketika memimpin salat, dia digantikan oleh Usman Bin Affan
sebagai khalifah. Usman termasuk golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum
keluarganya terdiri dari orang aristokrat Mekah yang karena pengalaman dagang
mereka, mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini
bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia
yang bertambah banyak masuk dalam kekuasaan Islam. Ahli sejarah menggambarkan
Usman sebagai orang yang lemah dan tidak sanggup menentang ambisi keluarganya
yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur-gubernur
di daerah yang tunduk pada kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat
oleh Umar Bin Khattab, khalifah yang terkenal sebagai khalifah yang kuat dan
tidak memikirkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman.
Tindakan politik
yang dijalankan oleh Usman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan
baginya. Sahabat-sahaba Nabi yang pada mulanya menyokong Usman, ketika melihat
tindakan yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Orang-orang
yang semula ingin menjadi khalifah atau ingin calonnya menjadi khalifah mulai
pula menangguk di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan tidak senang
muncul di daerah-daerah. Dari Mesir, sebagai reaksi
dijatuhkannya Amr Bin Ash yang digantikan oleh Abdullah Bin Sa’ad Bin Abi Sahr,
salah satu anggota keluarga Usman, sebagai gubernur Mesir, lima ratus
pemberontak berkumpul dan kemudian bergarak menuju Madinah. Perkembangan
suasana di Madinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka
pemberontak dari Mesir itu.
Setelah Usman
wafat, Ali menggantikannya menjadi khalifah. Tetapi segera pula ia mendapat
tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah. Terutama Talha
dan Zubair dari Mekah yang mendapat sokongan dari Aisyah ra. Tantangan dari
Aisyah ini berhasil dipatahkan oleh Ali pada perang Jamal yang terjadi di Irak
pada tahun 656 M. Talha dan Zubair mati terbunuh dan Aisyah dikembalikan ke
Mekah.
Selanjutnya
akibat persoalan politik yang menyangkut pembunuhan Usman Bin Affan, berbuntut
pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifaan Ali Bin Abi Thalib. Mu’awiyah sendiri
adalah gubernur Damaskus dan merupakan keuarga terdekat Usman. Mu’awiyah
menuduh Ali sebagai salah satu orang yang turut ikut campur dalam pembunuhan
Usman. Ketegangan antara keduanya mengkristal menjadi perang Shiffin yang
berakhir dengan keputusan tahkīm (arbitrase).
Pada peperangan
tersebut pasukan Mu’awiyah berhasil dipukul mundur. Tetapi dengan kelicikan
salah satu tangan kanan Mu’awiyah yaitu Amr Bin Ash, meminta berdamai dengan
mengankat al- Qur’an ke atas. Ali pun menerima ajakan perdamaian itu atas
desakan para Qurra yang ada dipihaknya. Maka dicarilah jalan
perdamaian dengan arbitrase. Sebagai pengantara diangkat dua orang, yaitu Amr
Bin Ash dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa alAsy’ari dari pihak Ali. Dalam
pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah
mengatakan antara keduanya terdapat permufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka
yang bertentangan, Ali dan Mu’awiyah. Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa
sebagai yang tertua yang terlebih dahulu mengumumkan kepada orang ramai putusan
untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan tersebut. Berlainan dengan apa
yang telah disetujui, Amr Bin Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali
yang telah diumumkan oleh Abu Musa, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah.
Bagaimanapun
peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah. Ali tetap
menjadi khalifah yang legal, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari
gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan
adanya arbitrase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi.
Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak oleh Ali dan tidak mau meletakkan
jabatannya, sampai ia mati terbunuh pada tahun 661 M.
Sikap Ali yang menerima
ajakan tersebut, sungguhpun berada dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh
sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi pada saat
itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim.
Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada
dalam al- Qur’an. Menurut mereka la hukma
illa lillāh (tidak hukum selain hukum Allah) atau la hakama illa allāh (tidak ada pengantara selain Allah) menjadi
semboyan mereka. Mereka memandang Ali telah berbuat salah sehingga mereka
meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam mereka terkenal dengan nama
Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau secerders. Di luar pasukan Ali yang membelot ada pula
sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kelak disebut
Syiah.
Akhirnya,
setelah terbunuhnya Ali Bin Abi Thalib pada peristiwa ini, maka berakhir pula
masa pemerintahan khulafāurrāsyidin.
C. Sejarah
Perkembangan Teologi Islam Pada Zaman Pasca Khulafāurrāsyidīn
Setelah
berakhirnya masa pemerintahan khulafāurrāsyidin,
perpecahan dikalangan umat Islam semakin meruncing. Persoalan-persoalan yang
terjadi dalam lapangan politik sebagaimana yang telah dibahas pada pembahasan
sebelumnya akhirnya membawa pada timbulnya persoalan-persoalan teologi.
Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti
siapa yang masih ada dalam Islam dan siapa yang telah keluar dari Islam.
Khawarij
memandang bahwa Ali, Mu’awiyah, Amr Bin Ash, dan Abu Musa al Asyari dan
lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir. Hal ini menurut mereka sesuai
dengan firman Allah sebagai barikut:
`tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$#
“barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.”(Q.S. al-
Maidah: 44)
Ayat inilah yang
mereka jadikan semboyan. Karena empat pemuka Islam di atas telah dipandang
kafir dalam arti telah keluar dari Islam, yaitu murtad atau apostate, mereka mesti dibunuh. Maka
kaum Khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi
menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh Ali Bin Abi Thalib yang
berhasil dalam tugasnya.
Lambat laun kaum
Khawarij terpecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami
perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan
hukum berdasarkan al- Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib al-kabair atau capital sinners, juga dipandang kafir. Persoalan
berbuat dosa besar inilah kemudian mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan
dan perkembangan selanjutnya teologi dalam Islam. Persoalannya ialah masikah
bisa dipandang mukmin atau sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu ?
Persoalan ini
menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama aliran Khawarij yang
mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar adalah kafir. Dinyatakan keluar
dari Islam atau tegasnya murtad dan oleh karena itu wajib dibunuh. Ada
juga diantara kaum khawarij yang bersifat netral. Mereka memberi dukungan
kepada Ali dalam peperangan, bukan kepada lawan-lawannya.
Selanjutnya
aliran Syiah yang fanatik kepada Ali dan keturunannya. Mereka berpendapat bahwa
tidak seorang pun yang berhak memegang kekhalifaan kecuali keturunan Ali. Kalau
ada yang mengakui khalifah bukan dari keturunan Ali, berarti merampas hak
kekuasaan. Kekhalifaannya tidak sah. Tetapi akhirnya partai ini dimasuki pula
anasir-anasir yang bukan-bukan, yang menyimpang dari pokok agama.
Syiah
berkeyakinan bahwa khilāfah dan imamah ditetapkan berdasarkan atas
pencalonan dan penunjukan, baik tertutup maupun terbuka. Mereka juga
mempertahankan bahwa imāmah itu harus
tetap berada pada keluarga Ali; jika imāmah
itu pernah berada di luar keluarga Ali, hal itu disebabkan sebuah
kekeliruan pada pihak lain atau karena taqiyyah
dipihak imam yang benar. Menurut mereka, imāmah bukanlah masalah sipil yang secara sah diselesaikan dengan
kehendak rakyat lewat penunjukan seorang imam berdasarkan atas pilihan mereka
sendiri. Imāmah adalah masalah
fundamental dan merupakan sebuah elemen dasar dari suatu agama. Para utusan
Allah tidak boleh mengabaikan atau tidak memperdulikan, apalagi menyerahkannya
pada pilihan rakyat kebanyakan.
Selanjutnya
aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih
mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang diperbuatnya, terserah kepada
Allah swt. Untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Mereka memandang
perbuatan-perbuatan itu bersifat sekunder daripada niat dan ketetapan hati.
Selanjutnya
aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka
orang yang berbuat dosa besar tidak kafir dan tidak pula mukmin. Orang yang serupa ini kata mereka mengambil
posisi di antara posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa arabnya terkenal
dengan istilah al manzila baina al
manzilatain (posisi di antara dua posisi). Mu’tazilah sendiri adalah aliran yang
bercorak rasional dan cenderung liberal. Pemikiran mereka ini tidak lain karena
dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani klasik yang sangat mengagungkan akal
pikiran. Hal ini didapatkan dari penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam Bahasa
Arab. Bahkan aliran ini pernah menjadi mazhab resmi Negara, yaitu pada masa
pemerintahan khalifah al Ma’mun (813-833 M). Namun, pada masa pemerintahan khalifah
al Mutawakkil di tahun 856 M, mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara
dibatalkan. Dengan demikian kaum Mu’tazilah kembali pada kedudukan mereka
semula. Tetapi kini mereka telah mempunyai lawan yang tidak sedikit dari
kalangan umat Islam.
Dalam pada itu
timbul pula dalam Islam dua aliran yang terkenal dalam teologi dengan nama
Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam
kehendak dan perbuatannya. Jabariyah sebaliknya berpendapat bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala
tingkah lakunya, menurut paham Jabariyah bertindak atas paksaan dari Tuhan. Segala
gerak geriknya ditentukan oleh Tuhan.
Kemudian bentuk
aliran teologi tradisionil yang disusun oleh Abu Hasan al Asy’ari (935 M). al
Asy’ari sendiri pada mulanya adalah seorang mu’tazilah, kemudian beliau keluar
lalu mendirikan aliran baru yang terkenal dengan nama Asy’ariyah. Di samping
aliran Asy’ariyah timbul pula aliran di Smarkand yang didirikan oleh Abu Mansur
al Maturidi (w. 944 M). kemudian aliran ini terkenal dengan nama Maturidiyah.
Kedua aliran tradisionil ini sama-sama menentang ajaran yang dipahami oleh
aliran Mu’tazilah. Selain keduanya ada pula aliran tradisionil yang juga
menentang paham Mu’tazilah. Mereka adalah pengikut-pengikut mazhab Hambali dan pengikut-pengikut
dari Abu Hanifah yang dibawa oleh al Tahawi (w. 933) dari Mesir. Tetapi ajaran
al Tahawi tidak menjelma menjadi ajaran teologi dalam Islam.
Menurut A.
Hanafi M.A., perselisihan-perselisihan dalam soal dosa besar (pembunuhan) sudak
bercorak agama, yang sebelumnya masih bercorak politik dan kemudian menjadi
pembicaraan penting dalam teologi Islam. Sebagaimana soal khilafat dan imamah sebenarnya lebih tepat dimasukkan dalam ilmu
fiqh, karena bertalian dengan hukum amalan lahir, bukan dalam bidang
kepercayaan.
Dengan demikian,
aliran-alian teologi penting yang timbul dalam Islam adalah aliran Khawarij, Murjiah,
Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. aliran Khawarij, Murjiah, dan Mu’tazilah
tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang
ialah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang keduanya disebut Ahl Sunnah wa al Jama’ah . aliran
Maturidiyah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan
aliran Asy’ariyah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan
masuknya kembali paham rasionalisme ke dunia Islam, yang kalau dahulu masuknya
melalui kebudayaan Yunani klasik akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat
modern, maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali
dikalangan intelegensia Islam yang mendapatkan pendidikan Barat. Kata
neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian pembahasan di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan
ini juga menjadi jawaban atas rumusan masalah yang ada pada makalah ini.
Kesimpulan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.
Teologi pada
zaman Nabi Muhammad saw. Belum dikenal. Hal ini dikarenakan belum ada
sahabat-sahabat atau umat Islam pada masa itu yang membicarakan soal teologi.
Kalau ada hal yang tidak dapat dipahami para sahabat pada waktu itu, bisa
langsung ditanyakan kepada Nabi. Jadi, kehidupan pada masa itu menjadi sangat
mudah karena ada Nabi sebagai penerang dan penjelas.
2.
Pada masa
pemerintahan khulafāurrasyidīn terutama
masa kepemimpinan khalifah Abu Bakar dan Umar, persoalan politik yang kelak
menjadi persolan teologi belum terjadi. Situasi politik pada masa ini relatif
stabil. Baru pada masa kepemimpinan Usman situasi politik mulai bergolak tetapi
belum menyentuh ranah teologi. Masa kepemimpinan Ali persoalan politik sudah
rapuh dan rentang, sehingga terjadi perang antara Ali dan Mu’awiyah yang
akibatnya Ali kalah dan sebagian tentaranya keluar menentangnya yang kelak
disebut Khawarij.
3.
Pasca jatuhnya
kekhalifaan khulafāurrasyidīn keadaan
di antara umat Islam semakin memanas. Persoalan politik yang sekedar hanya
berada pada perebutan kekuasaan meningkat menjadi pelaku dosa besar, kemudian
meningkat menjadi siapa yang masih muslim dan siapa yang kafir atau sudah keluar
dari Islam. Selanjutnya mulai bermunculan aliran-aliran yang membahas tentang
teologi, seperti aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah,
Qadariyah, dan Jabariyah.
B. Implikasi
Mudah-mudahan
dengan kelahiran makalah ini, dapat menambah pengetahuan kita khususnya
mengenai sejarah perkembangan teologi dalam Islam. Namun, kami menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah masih terdapat kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena
itu, sangat diharapkan adanya kritik dan saran yang membangun atau lain-lainnya
demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Al Syahrastani,
Muhammad Ibn Abd Karim, al Milal wa al
Nihāl : Aliran-aliran Teologi Dalam Islam, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004.
Abdul Rozak,
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung:
CV PUSTAKA SETIA, 2001.
A. Hanafi
M. A., Pengantar Teologi Islam, Jakarta:
P. T. JAYAMURNI, 1974.
Nasution, Harun,
TEOLOGI ISLAM: ALIRAN-ALIRAN, SEJARAH,
ANALISA PERBANDINGAN, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
Siswanto, Deding, ILMU KALAM, Bandung: CV. ARMICO, 1990.
Thahir Abd. Muin, Taib, ILMU KALAM, Jakarta: WIDJAYA, 1973.
Abdul
Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet.
I; Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001), h. 28. Lihat juga Harun Nasution, TEOLOGI
ISLAM : aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan (Cet. V; Jakarta:
PENERBIT UNIVERSITAS INDONESIA,
1986), h. 6.